Showing posts with label Hadits. Show all posts
Showing posts with label Hadits. Show all posts

Thursday, March 13, 2014

Hadits Perdagangan

Ajaran Islam sangat mendorong umatnya untuk melakukan aktivitas jual beli. Peran perdagangan sangat penting dalam menghidupkan sirkulasi hasil-hasil industri, pertanian, jasa dan harta kekayaan lainnya menuju keseimbangan laju perekonomian manusia dalam pasar barang dan uang. Rasulullah SAW sendiri sebagaimana yang diungkapkan barbagai literatur sejarah, berlaku sebagai the role model dengan telah menjadi pedagang internasional pada usia 37 tahun.

Fenomena yang ada meunjukkan ketertinggalan umat Islam dalam pencapaian keberhasilan dagang. Padahal secara teoritis, kewajiban zakat pada komoditas perdagangan dapat merangsang aktifitas produksi dan investasi, ditandai dengan pola penyaluran dana zakat belakangan ini yang sudah mulai merambah pola-pola produktif. Dengan begitu baik dilihat dari sudut pandang muzaki maupun mustahik zakat adalah sebuah instrumen yang mempertemukan antara kreditor dan debitor, hanya saja polanya lebih elegan mengingat pemindahan sejumlah aset dari investor kepada pihak debitor dilegalkan secara syari’ah.

Dengan perkembangan aktivitas perdagangan yang telah jauh berbeda denga yang terjadi di masa kenabian, penulis mencoba untuk mengakomodasi semua bentuk aktivitas perdagangan yang tercakup dalam ruang lingkup aset wajib zakat perdagangan.

Satu hal yang perlu dipahami adalah pengertian zakat komoditas perdagangan dalam sub bab ini dikhususkan untuk usaha dagang yang dilakukan oleh perorangan dan tidak untuk perusahaan atau hasil industri sebuah perushaan. Hal ini dikarenakan dengan pertimbangan bahwa aktivitas sebuah perusahaan biasnya lebih kompleks ketimbang aktivitas dagang perseorangan. Selain itu, kedetailan cara berhitung zakat perusahaan juga harus memperhatikan sistem pelaporan keungan yag digunakan oleh sebuah perusahaan (neraca), yang biasanya tidak menjadi unsur kerja dari bentuk usaha perorangan.

Dalam bab ini penulis akan memaparkan apa saja yang terhitung sebagai aset wajib zakat kategori komoditas perdagangan, apa syarat dan berapa besaran nasabnya dan bagaimana cara menghitungnya.

A. Hadits Perdagangan

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُدَ بْنِ سُفْيَانَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانٍ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى -أَبُو دَاوُدَ-، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سَعْدِ بْنِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِيهِ –سُلَيْمَانَ- عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ كَان يَأمُرُنا أَن نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْع

Muhammad bin Dawud bin Sufyan berkata kepada kami: Yahya bin Hassan berkata kepada kami: Sulaiman bin Musa -Abu Dawud- berkata kepada kami: Ja’far bin Sa’d bin Samurah bin Jundub berkata kepada kami: Khubaib bin Sulaiman berkata kepadaku, dari bapaknya –Sulaiman–, dari Samurah bin Jundub, beliau berkata: “Amma ba’du, sesungguhnya Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengeluarkan sedekah (zakat) dari apa yang kita siapkan untuk diperdagangkan.”

B. Pengertian Harta Perdagangan

Harta perdagangan adalah sesuatu (selain uang) yang digunakan untuk menjalankan perdagangan, baik dengan pembelian maupun penjualan, yang bertujuan memperoleh keuntungan. Harta perdagangan meliputi makanan, pakaian, kendaraan, barang-barang industri, hewan, barang-barang tambang, tanah, bangunan, dan lain-lain, yang bisa diperjualbelikan.

Barang dagangan di sini adalah yang bukan emas dan perak, baik yang di cetak, seperti uang Pound dan Riyal, maupun yang tidak dicetak, seperti perhiasan wanita. Tiga imam mazhab sepakat bahwa emas dan perak mutlak tidak termasuk dalam barang dagangan. Malikiyah tidak sependapat dalam masalah (emas/perak) yang tidak dicetak. Menurut mereka bila emas dan perak itu tidak dicetak, maka keduanya termasuk barang dagangan.
‘Urudh ialah bentuk jamak dari kata ‘aradh, artinya, harta dunia yang tidak kekal. Kata ini juga bisa dipandang sebagai bentuk jamak dari kata ‘ardh artinya barang selain emas dan perak, baik berupa benda, rumah tempat tinggal, jenis-jenis binatang, tanaman,pakaian, maupun barang yang lainnya yang disediakan untuk perdagangan. Termasuk kategori ini, menurut mazhab Maliki, ialah perhiasan yang diperdagangkan.

Rumah yang diperjualbelikan oleh pemiliknya, hukumnya sama dengan barang-barang perdagangan. Adapun rumah yang didiami oleh pemiliknya atau dijadikan sebagai tempat bekerja, seperti tempat dagang atau tempat perusahaan, tidak wajib dizakati.Harta yang digunakan untuk perdagangan wajib dikeluarkan zakatnya. Ini ditetapkan tanpa ada perselisihan diantara sahabat.
C. Landasan Hukum Zakat Perdagangan

Ibn al-Mundzir berkata, “para ahli ilmu sepakat bahwa dalam barang-barang yang dimaksudkan sebagai barang-barang dagangan, zakatnya dikeluarkan ketika telah mencapai hawl. Dalil mengenai pewajiban zakat perdagangan. Nabi saw bersabda sebagai berikut, Allah swt berfirman dalam al-qur’an surah al-Baqorah ayat 267.

267. Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Menurut Mujahid, ayat di atas diturunkan berkenaan dengan perdagangan. Nabi saw bersabda sebagai berikut: “Dalam unta ada sedekahnya. Dalam sapi ada sedekahnya. Dalam kambing ada sedekahnya. Dan dalam bazz juga ada sedekahnya”

Abu ‘Amr bin Hammas meriwayatkan bahwa ayahnya berkata “saya pernah disuruh oleh Umar. Dia mengatakan,”Tunaikanlah zakat hartamu.’aku menjawab,’aku tidak mempunyai harta kecuali anak panah dan kulit. “Dia berkata lagi,’Hitunglah hartamu itu, kamudian tunaikan zakatnya”. Dari Samurah bin Jundab berkata: “kemudian daripada itu, Rasulullah saw memerintahkan kepada kami, untuk mengambil zakat dari semua yang kami maksudkan untuk dijual” (HR. Abu daud). Dari Abi Dzar, dari Nabi saw bersabda:”pada bahan pakaian wajib dikeluarkan zakatnya” (HR. Daruquthni dan Baihaki)

D. Syarat Zakat Barang Dagangan

1. Nisab. Harga harta perdagangan harus telah mencapai nisab emas atau perak yang dibentuk. Harga tersebut disesuaikan dengan harga yang berlaku di setiap daerah.

2. Hawl. Harga harta dagangan, bukan harta itu sendiri, harus telah mencapai hawl, terhitung sejak dimilikinya harta tersebut.

3. Niat melakukan perdagangan saat membeli barang-barang dagangan.

4. Barang dagangan dimiliki melalui pertukaran. Jumhur, selain madzhab Hanafi, mensyaratkan agar barang-barang dagangan dimiliki melalui pertukaran, seperti jual beli atau sewa menyewa

5. Harta dagangan tidak dimaksudkan sebagai qunyah (yakni sengaja dimanfaatkan oleh diri sendiri dan tidak diperdagangkan).

6. Pada saat perjalanan hawl semua harta perdagangan tidak menjadi uang yang jumlahnya kurang dari nisab. Hal ini merupakan syarat yang lain yang dikemukakan oleh madzhab Syafi’i. Dengan demikian, jika semua harta perdagangan menjadi uang, sedangkan jumlahnya tidak mencapai nisab, hawlnya terputus. Syarat ini tidak diisyaratkan oleh madzhab-madzhab yang lain.

7. Zakat tidak berkaitan dengan barang dagangan itu sendiri. Hal ini dijadikan syarat oleh madzhab Maliki. Dengan demikian, jika harta yang diperdagangkan berupa hart-harta yang nisab dan zakatnya telah ada ketentuannya sendiri, seperti emas, perak, binatang ternak dan harts, maka zakatnya wajib dikeluarkan seperti halnya zakat emas dan perak, binatang ternak dan harts.

8. Si muzaki harus menjadi pemilik komoditas yang diperjualbelikan baik kepemilikannya itu diperoleh dari hasil usaha dagang maupun tidak, seperti kepemilikan yang didapat dari warisanm hadiah, dan lain sebagainya.

9. Nisab Zakat Perdagangan

Zakat yang wajib dikeluarkan dari harta perdagangan ialah seperempat puluh atau sama dengan 2,5% harga barang dagangan. Mayoritas fuqaha sepakat bahwa nisabnya adalah sepadan dengan nisab zakat aset keuangan, yaitu setara dengan 85 gram emas atau 200 dirham perak. Penetapan nilai aset telah mencapai nisab ditentukan pada akhir masa hawl.

10. Hal ini disesuaikan dengan prinsip independensi tahun keuangan sebuah usaha. Adapun kondisi fluktuasi komoditas perdagangan muzaki selama masa hawl tidak dijadikan bahan pertimbagan penetapan tersebut. Selain itu, kategori zakat komoditas perdagangan dihitung berdasarkan asas bebas dari semua tanggungan keuangan, dengan demikian zakat tidak dapat dihitung kecuali pada waktu tertentu yaitu pada akhir masa hawl. Pada akhir masa hawl, tidak akan ada pengurangan lagi yang terjadi pada aset pedagang yang diwajibkan membayar zakat (usaha telah memasuki tahun tutup buku)

E. Cara Menghitung Zakat Perdagangan

Sumber zakat komoditas perdagangan adalah modal kerja bersih yang dihitung pada akhir masa haul dan ditambahkan dengan keuntungan dari hasil transaksi perdagangan yang terjadi selama masa haul serta digabungkan aset lain yang didapat pada saat melakukan aktivitas perdagangan namun tidak dihasilkan dari transaksi perdagangan (pendapatan nondagang).

Mayoritas ulama berpendapat bahwa adanya penambahan pada aset yang bukan dihasilkan dari aktivitas perdagangan, seperti hibah, wasiat, warisan, hadiah pertambahan nilai aset tetap dan lain-lain dianggap sebagai bagian dari sumber zakat komoditas perdagangan.

Apabila seseorang pedagang memulai perdagangannya dengan harta yang awalnya jauh dibawah nishab zakat, kemudian diakhir haul mencapai nishab zakat,maka tidak diwajibkan zakat atasnya. Ini karena nishab yang telah dicapai belum genap satu tahun, sehingga zakat yang diwajibkan kepadanya pada nishab tersebut baru berlaku setelah berjalan genap satu tahun.

Apabila seorang pedagang memulai perdagangannya dengan harta yang jumlahnya mencapai nishab, misalnya memulai perdagangan dengan 1000 dinar. Kemudian diakhir tahun perdagangannya berkembang dan memperoleh keuntungan, sehingga nilai harta perdagangannya menjadi 3000 dinar, maka diwajibkan kepadanya mengeluarkan zakat atas harta yang jumlahnya 3000 dinar, bukan atas harta yang jumlahnya 1000 dinar yang digunakan pada permulaan perdagangannya. Hal ini karena perkembangan hartanya itu mengikuti modalnya yang 1000 dinar, dan haul atas keuntungannya telah tercapai mengikuti haul atas modalnya. Jadi dihitung bersama-sama (digabung) dan dikeluarkan zakatnya.

Apabila haul telah sampai, seorang pedagang diwajibkan mengeluarkan zakat perdagangannya berdasarkan jenis (yang wajib dizakatkan)nya seperti unta, sapi dan kambing, atau tidak berdasarkan jenis yang diwajibkan zakatnya, seperti pakaian dan barang-barang industri atau seperti tanah da bangunan. Semua itu dihitung dengan standar yang sama dengan emas atau dengan perak.

Dikeluarkan zakatnya dengan mata uang yang berlaku. Dan boleh dikeluarkan zakatnya berupa mata uang yang beredar,jika hal itu memudahkannya. Begitulah, siapa saja yang berdagang kambing, sapi, kain, maka ia wajib mengeluarkan zakat atas barang-barang tadi, dalam bentuk uang. Bisa juga mengeluarkannya dalam bentuk ternak, sapai, sapi, kain, yaitu berdasarkan pada barang yang diperdagangkannya.

F. Cara Mengeluarkan Zakat Perdagangan Menurut Madzhab Maliki

Madzhab Maliki berpendapat bahwa pedagang bisa merupakan seorang muhtakir atau mudir, atau muhtakir sekaligus mudir.

1. Muhtakir ialah pedagang yang membeli barang-barang dagangannya, tetapi penjualannya menunggu saat harganya telah naik/mahal. Dia tidak wajib mengeluarkan zakatnya sampai dia menjualnya. Dengan demikian, jika dia menjualnya setelah lewat setahun atau beberapa tahun, dengan emas dan perak, maka dia harus menzakati harganya untuk satu tahun. Jika hartanya masih tersisa, sisanya digabungkan dengan barang-barang dagangan yang ada.

Pendapat diatas bertentangan dengan pendapat jumhur ulama selain mazhab Maliki. Mereka berpendapat bahwa muhtakir harus mengeluarkan zakatnya setiap tahun, meskipun dia belum menjual barang-barang dagangannya.

2. Mudir adalah orang yang berjual beli tanpa menunggu waktu tertentu, misalnya orang yang selalu berjualan di pasar. Dalam setahun, pada setiap bulannya, dia harus melihat nuqudnya dan menghitung barang-barang dagangannya. Barang-barang dagangannya digabungkan dengan nuqudnya. Ketika telah mencapai nishab, dia harus mengeluarkan zakat harta tersebut setelah utang-utangnya dilunasi kalau memang dia mempunyai utang.

Seorang mudir harus menghitung barang-barang dagangan yang di miliki olehnya, kendatipun barang-barangnya tidak laku. Kemudian dia menggabungkan barang-barang dagangannya dengan nuqud yang dimiliki. Setelah itu semuanya dizakati.

Kesimpulan

Harta perdagangan adalah sesuatu (selain uang) yang digunakan untuk menjalankan perdagangan, baik dengan pembelian maupun penjualan, yang bertujuan memperoleh keuntungan. Zakat itu wajib pada harga dari barang dagangan itu sendiri. Ketika diperhitungkan, hendaklah digabungkan antara satu barang dagangan dengan lainnya sekalipun jenisnya berbeda, seperti pakaian dan tembaga sebagaimana keuntungan yang dihasilkan dari perdagangan itu juga digabungkan dengan asal harta dagangan dalam masa satu tahun.

Ada beberapa syarat barang dagangan yang wajib dizakati, antara lain barang tersebut telah mencapai nishab, sudah masuk satu tahun (haul), barang tersebut dimiliki oleh muzaki dan memang diniatkan untuk dizakati ketika membeli barang dagangan tersebut. Besarnya nishab barang dagangan seperempat puluh atau 2,5% dari keuntungan ditambah modal. Menurut Mazhab Maliki seorang pedagang bisa merupakan seorang muhtakir atau mudir atau muhtakir sekaligus mudir.


Daftar Pustaka

Al-Jaziri Abdurrahman, Fiqh Empat Madzhab, Jakarta: Darul Ulum Press,2002

Al-Zuhayly Wahbah,Zakat Kajian Berbagai Mazhab,Bandung : Remaja Rosdakarya,2005

MufrainM. Arif i, Akuntansi dan Manajemen Zakat Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan,Jakarta: Prenada Media Group,2008

Zallum Abdul Qadim, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Bogor : Pustaka Thariqul Islam,2006

Hadits Tentang Kepemimpinan Wanita

Hadits Tentang Kepemimpinan Wanita

4425 - حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الهَيْثَمِ، حَدَّثَنَا عَوْفٌ، عَنِ الحَسَنِ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، قَالَ: لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الجَمَلِ، بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ، قَالَ: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ، قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً»

(kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras juz 5)

Mengapa hadist tersebut melarang wanita untuk menjadi pemimpin ?

Menurut beberapa pendapat ulama ada yang mengatakan dibolehkan dan tidak dibolehkan. Sesuai dengan aturan dan memimpin di bagian-bagian tertentu, dan masih disertai batas-batas syara menurut hadist dan nash al quran yang ada. Berikut ulasan dari pendapat ulama tentang Kepemimpinan Wanita.

Dalam buku wawasan Al-Qur’an karangan Dr. Quraisy Syihab terdapat pembahasan mengenai hak-hak Perempuan dalam bidang politik. Diantaranya hadits berikut yang dijadikan sandaran sebagian orang mengenai tidak bolehnya seorang perempuan menjadi pemimpin.

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً (رواه البخاري والنسائ والترمذي واحمد)

Ketika Rasulullah Saw. Mengetahui bahwa masyarakat Persia mengangkat Putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda, “Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (diriwayatkan oleh Bukhari, An-Nasa’I dan Ahmad melalui Abu Bakrah)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diriketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An Nisaa’ : 34)

Bagaimana maksud ayat ini menurut para ulama yang mendalam ilmunya?

Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim mengatakan mengenai ’ar rijaalu qowwamuna ’alan nisaa’, maksudnya adalah laki-laki adalah pemimpin wanita. (Ad Darul Mantsur, Jalaluddin As Suyuthi)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Laki-lakilah yang seharusnya mengurusi kaum wanita. Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, sebagai hakim bagi mereka dan laki-lakilah yang meluruskan apabila menyimpang dari kebenaran. Lalu ayat (yang artinya), ’Allah melebihkan sebagian mereka dari yang lain’, maksudnya adalah Allah melebihkan kaum pria dari wanita. Hal ini disebabkan karena laki-laki adalah lebih utama dari wanita dan lebih baik dari wanita. Oleh karena itu, kenabian hanya khusus diberikan pada laki-laki, begitu pula dengan kerajaan yang megah diberikan pada laki-laki. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, ”Tidak akan bahagia suatu kaum apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits ‘Abdur Rohman bin Abu Bakroh dari ayahnya.

Asy Syaukani rahimahullah juga mengatakan bahwa maksud ’qowwamuna’ dalam ayat ini: laki-laki seharusnya yang jadi pemimpin bagi wanita.

Syaikh ‘Abdur Rahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Kaum prialah yang mengurusi kaum wanita agar wanita tetap memperhatikan hak-hak Allah Ta’ala yaitu melaksanakan yang wajib, mencegah mereka dari berbuat kerusakan. Kaum laki-laki berkewajiban pula mencari nafkah, pakaian dan tempat tinggal kaum wanita.” (Taisir Karimir Rahman)
Banyak Ayat Lain yang Mendukung Hal Ini

Pertama; Allah melebihkan derajat laki-laki daripada wanita

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Baqarah: 228)

Kedua; Para Nabi dan Rasul adalah laki-laki.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى

“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk negeri.” (QS. Yusuf : 109)

Ketiga; Para istri Nabi berada di bawah kekuasaan para Nabi.

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianatkepada suaminya (masing-masing).” (QS. At Tahrim : 10)

Keempat; Warisan laki-laki setara dengan dua wanita.

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan” (QS. An Nisa’ : 11)

Saksi laki-laki setara dengan dua wanita, sebagaimana firman-Nya yang artinya,”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” (QS. Al Baqarah : 282)
Lima Bukti tentang nash dan hadist yang melarang kepemimpinan wanita

Bukti pertama; Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah mengangkat pemimpin (amir) dari kaum wanita.

Bukti kedua; Imam shalat tidak pernah seorang wanita, tetapi seorang laki-laki. Bahkan beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam ketika sakit tidaklah menyuruh istrinya untuk menjadi imam.

Bukti ketiga; Hak laki-laki lebih mulia daripada wanita.

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Andai aku memerintah seseorang sujud kepada yang lain, tentu akan aku perintahkan wanita sujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi no. 1159. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Bukti keempat; Wanita harus izin kalau ingin puasa sunnah. Hal ini ditegaskan dari hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam barsabda,

“Hendaklah wanita tidak berpuasa (sunnah) apabila suaminya ada selain dengan izin suaminya.”(HR. Bukhari). Pesan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ini ditujukan kepada sang isteri bukan kepada suami, karena suami adalah pemimpin.

Bukti kelima; Laki-laki wajib ditaati, sebagaimana hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu istrinya enggan mendatanginya, maka malaikat akan melaknatnya sampai pagi hari.” (HR. Bukhari). Hadits ini menunjukkan bahwa suami punya hak memerintah isterinya karena suami adalah pemimpin.

Bukti lain dari sejarah Islam adalah bahwa semua para Rasul dan Nabi adalah laki-laki, begitu juga semua khalifah ada laki-laki dan pemimpin pasukan tempur untuk melawan musuh juga seorang laki-laki.

Mengapa Wanita Bukan Pemimpin?

Alasan Pertama; Akibat dari mengangkat pemimpin wanita

Abu Bakrah berkata,

لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

“Tatkala ada berita sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ”Tidak akan bahagia suatu kaum apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. ” (HR. Bukhari no. 4425)

Alasan Kedua; Wanita kurang akal dan agama

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ

“Tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” (HR. Bukhari no. 304)

Alasan Ketiga; Wanita ketika sholat berjama’ah menduduki shof paling belakang

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shof untuk laki-laki adalah paling depan sedangkan paling jeleknya adalah paling belakang, dan sebaik-baik shof untuk wanita adalah paling belakang sedangkan paling jeleknya adalah paling depan.” (HR. Muslim no. 440)

Alasan Keempat; Wanita tidak dapat menikahkan dirinya, tetapi harus dengan wali

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ

“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101 dan Ibnu Majah no. 1880. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).

Alasan Kelima; Wanita menurut tabiatnya cenderung pada kerusakan

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَىْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلاَهُ ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

“Nasehatilah wanita untuk berbuat baik karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk tersebut adalah bagian atasnya. Jika engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk tadi, maka dia akan patah. Namun, jika kamu membiarkan wanita, ia akan selalu bengkok, maka nasihatilah dia.” (HR. Bukhari no. 5184)

Alasan Keenam; Wanita mengalami haidh, hamil, melahirkan, dan menyusui

Allah Ta’ala berfirman,

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath Tholaq : 4)

Jika datang waktu seperti ini, maka di mana tanggung jawab wanita sebagai pemimpin?

Alasan Ketujuh; Wanita mudah putus asa dan tidak sabar

Kita telah menyaksikan pada saat kematian dan datangnya musibah, seringnya para wanita melakukan perbuatan yang terlarang dan melampaui batas seperti menampar pipi, memecah barang-barang, dan membanting badan. Padahal seorang pemimpin haruslah memiliki sifat sabar dan tabah.

Di Mana Kepemimpinan Wanita?

Wanita hanya diperbolehkan menjadi pemimpin di rumahnya, itu pun di bawah pengawasan suaminya, atau orang yang sederajat dengannya. Mereka memimpin dalam hal yang khusus yaitu terutama memelihara diri, mendidik anak dan memelihara harta suami yang ada di rumah. Tujuan dari ini semua adalah agar kebutuhan perbaikan keluarga teratasi oleh wanita sedangkan perbaikan masyarakat nantinya dilakukan oleh kaum laki-laki. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmudan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 33)

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

“Dan wanita menjadi pemimpin di rumah suaminya, dia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai orang yang diurusnya.” (HR. Bukhari no. 2409)

Kita hendaknya menerima ketentuan Allah yang Maha Bijaksana ini. Bukanlah Allah membendung hak asasi manusia, tetapi Dialah yang mengatur makhluk-Nya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan kebahagiaannya masing-masing.


Kesimpulan

Wanita boleh menjadi pemimpin asal sesuai dari batas-batas yang ditentukan oleh syarat islam. Wanita lebih baik menjadi pemimpin dirumahnya sendiri, menjadi pemimpin bagi anakp-anak dan suami nya untuk membantu suami mengurusi masalah rumah tangga. Karena wanita mempunyai kekurangan yang di anggap kurang dari pada pria. Tetapi bukan maksud untuk merendahakan derajat wanita tersebut.

Misalnya yang sudah di jelaskan pada makalah diatas beserta hadist dan beberapa dari nash al quran. Wanita mempunyai kelemaha kurang berakal dan kurang mengerti agama. Karena wanita lebih mengutamakan perasaan dari pada akalnya, terbawa emosi nya. Dan wanita mempunyai halangan-halangan yang tidak dimiliki pria. Karena wanita itu melahirkan, menyusui, dan mendapat haid. Wanita mempunyai derajat yang tinggi dan patut dihormati apabila dia menuruti aturan-aturan islam. Semoga bermanfaat.